"Pak Guru, jujur saja saya tidak mengerjakan PR
saya".
"Saya
pusing Pak Guru, di rumah pekerjaan saya terlalu banyak".
"Semalam
saya mengerjakan PR mata pelajaran lain, jadi PR-nya tidak sempat
dikerjakan".
Itulah
jawaban siswa yang paling sering saya terima manakala saya menagih PR
(Pekerjaan Rumah/Tugas Rumah) mereka. Demikian kata teman guru saya, saat saya
bertemu di sebuah pelatihan.
Memang
menangani PR bagi kita para guru kadang-kadang membuat kecewa. Padahal saat
kita memberikan PR tersebut disertai dengan 'wanti-wanti' bahwa hasil pekerjaan
rumah nantinya akan mempengaruhi nilai mata pelajarannya, hasil pekerjaan rumah
nantinya akan menentukan kelulusan atau naik kelas mereka. Sementara, dilain
pihak sesuai dengan tuntutan kurikulum, kita diharuskan untuk memberikan materi
dengan tuntas.
Lantas,
memberi hukuman kepada siswa yang tidak mengerjakan PR-nya? Ups, no-way, tunggu dulu, bukan jamannya lagi memberi hukuman
fisik, ini sekolah bukan tempat untuk orang-orang hukuman. Dengan sedikit
tambahan kesibukan, cobalah menilik alasan-alasan siswa tersebut, bisa jadi
mereka tidak mengerjakannya karena dengan kepolosan atau apa adanya memang
mereka tidak mengetahuinya, kurang memiliki kesempatan untuk mengerjakannya di
rumah (makanya disebut Pekerjaan Rumah) atau bahkan kehilangan kepercayaan
terhadap guru. Siswa kehilangan kepercayaan kepada guru? Ya, karena guru
memberikan PR yang lumayan banyak dengan deadline terbatas sehingga terkesan balas
dendam (seperti dosen saya saat saya kuliah) dan tidak pernah mengembalikan
hasil pekerjaan mereka mengakibatkan mereka menjadi malas untuk berbuat.
Olehnya
itu, kita perlu mengkomunikasikannya secara intensif dengan siswa, membuat
komitmen bahwa mengerjakan PR bukan sekedar benar atau salah sehingga
memperoleh nilai bagus, tetapi bentuk tanggung jawab yang diberikan sehingga
siswa menjadi pelajar yang bertanggung jawab. Tentunya setelah mereka
mengerjakannya, kita memeriksa, memberi nilai dan mengembalikan disertai dengan
komentar yang memotivasi mereka.
Kita
perlu berkomunikasi pula kepada orang tua siswa bahwa siswa memperoleh
pelajaran tidak saja di sekolah, tetapi juga di rumah. Sebagai gambaran bahwa
dari 24 jam sehari, waktu siswa berada di rumah lebih banyak (selama 18 jam)
dibandingkan waktu mereka di sekolah yang hanya 5-6 jam. Untuk itu dengan
memberikan penyadaran kepada orang tua siswa agar memberi kesempatan kepada
anaknya untuk membuka kembali pelajaran mereka di rumah atau bahkan membuat jam
wajib belajar di rumah.
Pun,
kita perlu berkomunikasi kepada sesama guru agar pemberian PR tidak bertumpuk
pada hari yang sama waktu penyetorannya sehingga siswa tidak merasa terbebani.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah introspeksi diri, melihat kembali metode
pembelajaran yang kita lakukan mungkin kurang pas untuk materi yang kita
ajarkan dan bagi siswa, tidak memberikan PR dalam jumlah yang banyak disertai
memperhitungkan waktu penyelesaiannya, memilih materi pelajaran yang
benar-benar penting (esensial) saja untuk pencapaian kompetensi mereka, serta
memberikan apresiasi bagi mereka yang mengerjakan PR dan memperoleh nilai
bagus. Dengan begitu, mudah-mudahan siswa dengan kesadaran yang tinggi mau
mengerjakannya sehingga PR bukan menjadi beban hidup mereka. Bukankah tugas
guru adalah memberikan kemudahan bagi siswa untuk mempersiapkan kehidupannya
yang akan datang? Bagaimana?